Identitas Diri Orang Percaya Dalam Dunia Digital

Bilangan 13 Kedua belas pengintai

27 Mereka menceritakan kepadanya: "Kami sudah masuk ke negeri, ke mana kausuruh kami, dan memang negeri itu berlimpah-limpah susu dan madunya, dan inilah hasilnya. 28 Hanya, bangsa yang diam di negeri itu kuat-kuat dan kota-kotanya berkubu dan sangat besar, juga keturunan Enak telah kami lihat di sana."

Saya membayangkan bagaimana saya melihat konteks dunia teknologi dan sosial media saat ini, dan melaporkan pengamatan (pengintaian) saya demikian:

"Saya sudah mengamati dan menggunakan teknologi dan sosial media yang ada dan memang semua itu berlimpah-limpah dengan fasilitas yang luar biasa bagi pengembangan dan kemajuan dunia, dan hasilnya dapat ditemui dimana-mana. Hanya pengaruhnya begitu kuat dan produk-produknya begitu memikat serta jaringannya begitu luas, selain itu perusahaan-perusahaan raksasa ikut mendukungnya, sehingga sangat sulit terlepas dari cengkeraman mereka." 

Tulisan ini akan saya buat dalam 3 tulisan berseri singkat. Di seri pertama ini saya akan fokus pada dampak teknologi dan sosial media bagi kehidupan orang Kristen secara umum. Seri kedua akan berfokus pada dampaknya bagi pendidikan Kristen. Dan seri terakhir, saya akan memberikan usulan pemikiran saya dalam menghadapi teknologi dan sosial media dengan identitas yang jelas sebagai orang percaya. 

Apa yang saya tuliskan ini merupakan pemikiran yang menjadi kerisauan saya pribadi terhadap dunia yang akan dihadapi oleh anak remaja saya. Dunia yang begitu berat untuk ia hadapi. Dunia yang juga tidak mudah bagi saya dalam membimbing atau mengarahkannya secara benar. Pertolongan dan anugerah Tuhanlah sematalah yang menjadi harapan saya dalam upaya menemani anak saya menghadapi masa depannya di tengah gelombang besar teknologi dan sosial media itu.

Kehidupan dan Identitas Digital

Teknologi digital memungkinkan terjadinya realitas virtual. Walaupun menghasilkan sesuatu yang nyata (realita), namun hal itu sekaligus bersifat virtual (maya atau tidak nyata). Contohnya, teknologi VR (virtual reality). Artinya, dengan teknologi itu sesuatu akan "terlihat" hidup nyata walaupun sebenarnya tidak. Jim Towey, jurnalis Wall Street Journal, dengan tepat menggambarkan arti "hidup" dalam teknologi digital. Ia mengatakan bahwa "in the metaverse, nothing dies because nothing lives. It is all fake. Videogames, Workrooms, Siri and Alexa, and all the technological inhabitants thrust on modernity seem increasingly authentic and real, but they aren’t."




Dan dalam arah itu, teknologi digital ini berusaha menggantikan realita nyata (hidup) dengan realita virtual (tidak nyata). Facebook, misalnya, sudah menjadi "tempat" beribadah digital bagi orang Kristen sebagai pengganti bagi gereja yang nyata. Elizabeth Dias menulis Facebook’s Next Target: The Religious Experience di New York Times, "The company (FB) aims to become the virtual home for religious community, and wants churches, mosques, synagogues and others to embed their religious life into its platform..."




Bukan hanya itu, teknologi juga membuka peluang besar untuk mengganti identitas kita. Teknologi digital ini memberi beragam alternatif identitas bagi para penggunanya. Identitas digital ini sangat atraktif dan dapat kita buat sesuai dengan keinginan kita. Jack Lee dalam artikelnya yang berjudulThe Metaverse, The Destruction Of A Person, And The Christian Dilemma menuliskan bahwa "For those looking to escape their natural selves, their biological reality is cast aside for an avatar/gender/being of their own choosing. Sexuality and gender are truly a whole construct of the person’s preferences."  Dan identitas alternatif ini sangat penting bila ingin berinteraksi dan berkomunikasi di dunia digital. David Lucatch, seorang praktisi digital, menegaskan bahwa "you're going to create and become a digital version of yourself that can move around and do things, which brings digital identity to the forefront."


Perubahan Menuju Perubahan

Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Bagaimana kita mengetahui persoalan utama kita saat ini? Mengapa kita masih bisa hidup tenang dan hidup seperti biasanya? Bukankah tidak ada gejolak besar di sekitar kita? Kita tanpa sadar seperti orang yang berada dalam perahu di atas air yang tenang, dimana tali pengikat perahu itu ke sandaran sudah terlepas. Perahu kita itu bergerak perlahan menjauh dari dermaga. Sedangkan kita sibuk dengan hal-hal lain sehingga kita tidak menyadari bahwa perahu kita bergerak perlahan semakin jauh dari dermaga. Kita baru tersadar berada di tengah lautan setelah merasakan adanya ombak besar menggoncang perahu kecil kita. 



Andrew Root setuju dan mengutip Charles Taylor, pemikir dari Kanada, dan menuliskan bahwa "Modernity is defined not just by our ‘losing’ an earlier world, but by the kind of human culture that we have constructed.” Kutipan Root tersebut menegaskan bagaimana kita seolah-olah tahu apa yang menjadi "kekurangan" kita. Kita merasa tahu arah dan tujuan yang hendak kita tuju. Kita begitu yakin, dengan segala fasilitas dan kemampuan yang kita miliki, dapat mengarahkan perahu kita di tengah gelombang besar teknologi dan sosial media yang menggelora. Kita tidak sadar bahwa "the whole of our social imaginary has shifted" kata Charles Taylor. Kita tidak sadar akan perubahan karena kita sendiri sudah dan sedang berubah. Komunitas kita sudah berubah. Masyarakat sudah berubah. Dasar dan nilai yang ada di masyarakat sudah berubah. 

(Social imaginary is the ways people imagine their social existence, how they fit together with others, how things go on between them and their fellows, the expectations that are normally met, and the deeper normative notions and images that underlie these expectations. - Charles Taylor, Modern Social Imaginaries)

Contohnya, saat scrolling sosial media (reels, shorts, X atau FB) yang sambung menyambung, kita menikmati dan memanfaatkan apa yang kita lihat dan dengar. Dan kita lakukan hal itu setiap hari. Walau kita merasa mengendalikan gadget dan content sosial media tersebut, namun kebiasaan itu secara perlahan dan pasti memberi perubahan dalam diri kita saat berpikir, berespon atau bertindak dalam kehidupan sehari-hari.

Kita mengalir dalam perubahan. Hal ini membuat kita terus merasa "kekurangan." Kita mau selalu mendapat update atau melakukan upgrade hidup kita. Kita cenderung ingin "menambahkan" sesuatu dalam hidup kita yang sedang berubah itu. Keingingan untuk terus berubah ini membuat hidup kita menjadi berarti atau bermakna. Namun itu menjadi ironi karena berarti atau bermakna tidak disertai dengan tujuan yang jelas. Sampai kapan kita melakukan perubahan? Apa tujuan akhir dari perubahan itu? Atau, apa yang hendak dicapai dengan perubahan-perubahan itu?

Pendidikan yang menjadi sarana untuk memperlengkapi dan mempersiapkan diri dalam proses perubahan ini juga menerima dampak yang tidak ringan. Pendidikan sering dikaitkan sebagai agen perubahan. Namun pertanyaannya adalah perubahan untuk apa? Bila perubahan menjadi tujuan maka kita berada dalam lingkaran perubahan yang tidak ada akhirnya. Kita akan membahas pertanyaan-pertanyaan di atas dalam seri 2.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MARI BELAJAR 2

The Best Intelectual (5)