The Best Intelectual (5)

Mengetahui adalah suatu kondisi tidak tahu sekaligus mengetahui yang berjalan bersama. Paradoks ini merupakan kenyataan yang sering kurang disadari karena ketegangan dalam proses itu hanya terasa saat orang mengalami ketegangan, seperti dalam satu ujian. Dan orang pada umumnya tidak merasa sedang menjalani ujian sehingga ia tidak menyadari bagaimana proses mengetahui itu terjadi. Tidak seperti orang yang bepergian ke tempat yang baru, ia sedang menjalani ujian. Tidak seperti orang beradaptasi dengan situasi dan kondisi baru, ia sedang dalam ujian. Tidak seperti orang yang baru memiliki seorang anak, ia sedang dalam ujian. Tidak seperti orang yang menggunakan kurikulum baru lagi, ia sedang dalam ujian.

Karena itu, orang yang sedang dalam ujian pasti bertanya. Pertanyaan didasarkan pada apa yang ia sudah ketahui sekaligus berdasarkan apa yang ia tidak ketahui. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah mendapatkan jawaban lengkap dan sempurna karena jawaban mensyaratkan pertanyaan baru. "Siapa namamu?", misalnya, meski mendapat jawaban "lengkap" tetap akan memunculkan pertanyaan baru, "Kamu tinggal dimana?", atau malah bisa menimbulkan pertanyaan "Siapa kamu sebenarnya?" Pertanyaan dan ujian merupakan dua sisi mata uang. Tanpa ujian, pertanyaan tidak menegangkan. Dan tanpa pertanyaan, maka ujian tidak memiliki legalitas. Seperti mangkuk dan kuah sop ayam, demikianlah pertanyaan harus disajikan dalam wadah ujian sebagai satu kesatuan.

Ujian demikian penting dalam proses belajar. Dalam proses untuk mengetahui (a priori) dan mengalami (a posteriori) sesuatu, ujian harus ada untuk memverifikasi dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Hasil tersebut menjadi patokan langkah pembelajaran selanjutnya. Ujian memberi informasi dan data terkait kondisi si pembelajar tersebut dalam belajar. Karena itu, tiap ujian yang dilakukan dengan benar pasti menghasilkan sesuatu. Lulus atau remedial! Sesuatu yang menjadi tanda hasil ujiannya. Seorang pemikir dapat menghasilkan banyak tulisan karena sudah dan tetap menguji pemikirannya. Para pematung kayu dapat menghasilkan patung kayu berkualitas dengan tetap menguji beragam jenis kayu untuk patungnya. Gagal dalam proses tersebut menjadi pengetahuan berharga untuk menjalani proses pembelajaran selanjutnya.

Ujian bukan untuk menentukan gagal atau berhasilnya seseorang dalam proses belajar. Justru hasil ujian menentukan langkah penting apa yang harus diambil untuk maju. Termasuk saat hasil ujiannya adalah gagal. Karena gagal atau berhasil menjadi bagian dari proses belajar itu sendiri. Siswa sekarang begitu takut gagal dalam ujian. Mengapa? Karena orang tua takut anaknya gagal ujian. Sehingga guru juga ikut takut siswa gagal ujian. Karena semua takut gagal ujian maka esensi dari ujian itu sudah tidak ada lagi. Ujian sebatas formalitas semata. Sebatas masalah administratif.

Dan ironisnya pemikiran ini terbawa dalam ranah spiritualitas. Ketika spiritualitas seorang siswa diberi nilai untuk menentukan lulus dan gagalnya siswa tersebut secara spiritual maka esensi dari spiritualitas itu sudah tidak ada lagi. Pola pembinaan pun searah, guru mengajar dan siswa mendengar sekaligus menghafal tiap informasi yang disebut dengan doktrin itu. Sebagian siswa tahu namun tidak mengerti, dapat memberi jawaban namun tidak memahami jawaban tersebut. Mereka menjelaskan untuk dapat nilai dan bukan untuk menguji penjelasannya. Sekiranya pun mereka "menguji" pemikiran asing, sesat, bidah, atau "ngawur" maka yang diuji adalah pemikiran yang sudah "dijinakkan". Mereka diajar menguji "strawman". 

Pembinaan demikian pada akhirnya menghasilkan mentalitas yang takut salah, takut gagal, takut sesat. Terkadang kita lupa bahwa secara default manusia tidak lepas dari kesalahan, kegagalan, atau kesesatan. Sebenarnya, "to be human is to ask all sort of questions...being a pilgrim of faith intensifies and transforms many old questions and generates new and urgent questions." Kegagalan justru dapat mentransformasi bila ditangani dengan benar. Transformasi yang dapat "melunasi" hutang dari kegagalan-kegagalan sebelumnya. 

Daniel Migliore menyebut mereka yang takut ini justru "berbahaya" bukan hanya bagi dirinya, namun juga bagi orang. Ia mengatakan,

When faith no longer frees people to ask hard questions, it becomes inhuman and  dangerous. Unquestioning faith soon slips into ideology, superstition, fanaticism, self-indulgence, and idolatry...We fear questions that might lead us down roads we have not traveled before. We fear disruption in our thinking, believing, and living that might come from inquiring too deeply into God and God's purpose.

Kalimat "Di dalam kasih tidak ada ketakutan" (1 Yohanes 4:18) tidak berlaku bagi orang yang takut ini. Ketakutan mereka melebihi kasih Yesus yang mengorbankan nyawanya di kayu salib. Ketakutan yang demikian akan menyebarkan ketakutan. Komunitas yang hidup dalam ketakutan terlihat dari kurangnya kasih.

Kasih bukan menghilangkan ketakutan. Kasih bukan melenyapkan masalah. Kasih bukan mengurangi rasa sakit. Namun kasih membuat Yesus mampu melakukan via dolorosa (a painfully difficult route, passage, or series of experiences - Webster). Namun kasih menguatkan dalam kelemahan iman. Kasih memberi ketenangan dalam kepanikan. Kasih memberi harapan dalam keputusasaan. Kasih memberi kehidupan dalam ketidakberdayaan. Kasih dengan lembut mengggagalkan segala pikiran orang yang takut.



Tuhan Yesus sendiri mengajukan banyak pertanyaan dalam mengajar dan melayani (saya bahas lebih lengkap di link ini). Ia juga sering memberi ujian, baik langsung atau tidak, bagi orang-orang yang dekat dengan Dia. "Menurutmu, siapa Aku?", tanya-Nya. Ia menghadapi tiap pertanyaan dengan kasih. Ia menghadapi tiap ujian dengan kasih. Ia menghadapi semua orang dengan kasih. Tuhan Yesus mau menerima orang bobrok, orang busuk, orang tidak tahu diri, dan masih banyak lagi, termasuk orang yang takut gagal menjadi murid-Nya dengan kasih. Jadi the best intellectual menjadikan Tuhan Yesus sebagai model yang ia ikuti. Ia takut tapi tidak ketakutan. Ia gagal tapi tidak tergagalkan. Ia menunjukkan kasih melalui hidupnya, walau ia masih takut gagal. Intelektualitas kita harus dibangun di atas dasar kasih Tuhan Yesus. Sebarkanlah kasih-Nya, maka kegagalan tidak menakutkan lagi. Gemakanlah kasih-Nya, maka ketakutan tidak menakutkan lagi. Hai gagal, dimanakah sengatmu!










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Identitas Diri Orang Percaya Dalam Dunia Digital

MARI BELAJAR 2