GEMBALA DAN PENDIDIKAN

Seringkali isu di masyarakat bukan isu di gereja dan sebaliknya isu di gereja bukan isu di masyarakat. Ini tergambar, misalnya, dari sikap seorang gembala terhadap suatu isu di masyarakat yang berdampak ke gerejanya. Tidak jarang gembala sebagai pemimpin “spiritual” di jemaat memakai metode “kontekstual” di gerejanya. Artinya, kebijakan gereja dalam dinamika hubungan gereja dan masyarakat, di mana peran dan partisipasi dituntut atau makna kehadiran gereja di tengah masyarakat dipertanyakan, sering terjadi tarik ulur untuk suatu tujuan tertentu. Misalnya, partai politik mana yang harus dipilih dalam pemilihan umum.

Kalau di masyarakat memakai dasar hukum di atas dasar rohani, di gereja memakai dasar rohani di atas dasar hukum.

Karena itu, peran gembala di dalam gereja tidak terlepas dari sistem dan pola pendidikan yang ia terima. Namun selain itu ada hal lain, minat dan bakat menjadi patokan penting dalam pendidikan dan pembentukan seorang hamba Tuhan. Apa dan bagaimana pelajaran yang ia gumulkan tidak terlepas dari minat dan bakatnya. Demikian juga dengan pelayanan yang ia pilih.

Sekolah teologi adalah lembaga yang melahirkan para gembala ini (tentu ada juga yang tidak jadi gembala). Sekolah teologi memiliki peran besar dalam menemukan dan mengembangkan bakat dan minat peserta didiknya. Perlu keterbukaan dengan keunikan bakat dan talenta tiap siswa. Fleksibilitas dan evaluasi kritis terhadap kurikulum suatu sekolah teologi dapat menjadi salah satu barometer bagi sekolah teologi yang terus berupaya memperhatikan dan mengembangkan bakat dan minat mahasiswanya.




Sekolah teologi di Indonesia pada umumnya mengasramakan mahasiswanya. Keseragaman dalam keragaman mahasiswa di sekolah teologi cenderung menekankan keseragamannya. Dan pada umumnya sekolah teologi mendidik dan membentuk mahasiswanya menjadi gembala jemaat. Karena itu ada banyak gereja yang mendirikan sekolah teologi agar tenaga rohaniwan di gerejanya tetap tersedia.

Namun di antara “produk” yang seragam itu ada sebagian kecil yang tidak seragam. Mereka ini, sesuai konteksnya, terbentuk oleh suatu pergulatan batin atau pemikiran yang mengarahkan mereka untuk mengambil langkah yang berbeda. Pergulatan tersebut memroses mereka untuk mengerti atau melihat suatu persoalan secara berbeda pula. Mengambil langkah yang berbeda ini menjadi pergulatan berikutnya, karena mereka harus membuktikan ketepatan keputusan mereka tersebut serta menjelaskannya kepada lingkungannya yang seragam itu. Semakin keras pergulatan yang mereka alami maka semakin jelas/tegas langkah yang mereka ambil.

Mereka yang sedikit ini seringkali tidak menjadi seorang gembala jemaat. Mereka bisa melayani di berbagai bidang pelayanan bahkan lintas bidang, namun pada umumnya pendidikan dasar teologinya masih mempengaruhi pemikirannya. Mereka akan terus berupaya memperlengkapi diri sedemikian rupa untuk mencapai visi yang digumulinya tersebut. Karena pelayana mereka tidak sebagai gembala jemaat maka kategori dan prioritas pelayanan yang penting bagi mereka belum tentu, dan seringkali tidak, menjadi persoalan penting bagi jemaat saat ini.

Di jemaat persoalan lokal domestik lebih dominan ketimbang persoalan di luar sana (gereja). Walau gereja memikirkan dan berupaya “menjawab” persoalan di luar sana dengan mendirikan rumah sakit, sekolah, pelatihan, memberi bantuan – dalam berbagai bentuk – dan berpartisipasi di tengah masyarakat, tetapi tetap tidak bisa mengalahkan persoalan lokal domestik di gereja: masalah konflik pribadi, masalah munculnya kelompok-kelompok, atau masalah jadwal pelayanan.

Karena itu, seorang gembala perlu terlepas dari pola pendidikan yang ia telah terima, namun dengan tetap tidak meninggalkan inti dari pendidikan, yaitu belajar. Artinya, gembala tetap harus terus belajar dengan berbagai pola dan metode yang dinamis. Pola dan metode adalah sarana, bukan tujuan.

Ingat, sebagaimana dengan pola dan metode yang beragam, tiap orang juga memiliki bakat dan talenta yang berbeda. Sehingga tidak tepat bila kita membandingkan kemampuan seseorang dari kemampuan akademisnya semata. Kemampuan akademis hanya salah satu aspek dalam pendidikan, baik formal maupun informal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Identitas Diri Orang Percaya Dalam Dunia Digital

MARI BELAJAR 2

The Best Intelectual (5)