KARAKTER PENDIDIKAN TEOLOGI DI ERA PASCAMODERN


Pendidikan teologi pada dasarnya pendidikan yang menghasilkan rohaniwan. Aspek kehidupan 
rohani menjadi salah satu aspek penting, tentunya selain aspek akademis dan pelayanan, dalam 
proses pendidikan. Aspek-aspek tersebut diharapkan, dengan kurikulum, pola pembinaan, 
lingkungan sekolah dan sebagainya, dapat menghasilkan lulusan yang memiliki pemahaman, 
karakter dan keterampilan yang baik, sehingga siap dan mampu berkarya di ladang pelayanan.

Beda sekolah, beda pula sistem, dasar teologia, metode pembelajaran, model pembinaan
dan nilai-nilainya. Namun ada satu hal yang sama, yaitu keinginan untuk dapat menghasilkan
lulusan yang baik dan siap melayani.

Namun di ladang pelayanan ada banyak persoalan timbul, bahkan ditimbulkan, oleh para
lulusan seminari tersebut. Mereka terkait dengan beragam persoalan, seperti masalah
kejujuran, integritas, keteladanan, komitmen pelayanan dan sebagainya. Dengan kata lain,
semua hal yang terkait dengan masalah moral.

Selain itu, dinamika dan perkembangan di masyarakat dewasa ini berdampak pula pada pendidikan 
secara umum, dan teologi secara khusus. Prof. H. A. R. Tilaar menggambarkan kondisi tersebut 
demikian, bahwa “akuntabilitas pendidikan tinggi yang diagung-agungkan merupakan akuntabilitas 
dari pemegang modal. Pendidikan tinggi jadinya dijadikan arena pengembangan sikap persaingan 
yang diminta oleh dunia industri…tidak mengherankan apabila tidak ada korelasi antara output 
pendidikan tinggi dengan perbaikan moral di dalam masyarakat.”[1]

Moralitas pada masa kini dianggap masalah personal. Pilihan-pilihan moral diserahkan  kepada tiap 
pribadi. Di era pascamodern, pemikiran tersebut mendapat pembenarannya dimana pola relasi tidak 
lagi terstruktur, tiap orang secara luas dapat menemukan orang yang sesuai dengan pribadinya, 
sehingga pola komunikasi sejajar. Dan dalam kesejajaran tiap pendapat menjadi penting. 
Jean-Francois Lyotard, filsulf Prancis, jauh sebelumnya telah mengatakan,

        …each [self] exists in a fabric of relations that is now more complex and mobile than ever
        before…one is always located at a post through which various kinds of messages pass.                     
        No one, not even the least privileged among us, is ever entirely powerless over the
        messages that traverse and position him at the post of sender, addressee, or referent.”[2]

Bila konteks masyarakat dan pemikiran yang berkembang sudah sejauh ini, bagaimana pendidikan 
teologi mempersiapkan para peserta didiknya sedemikian rupa agar memiliki karakter Kristiani 
yang jelas? Tulisan ini akan berusaha menjawab satu pertanyaan ini dengan menganalisa pemikiran 
yang berkembang dewasa ini dalam pendidikan teologi.

Kualitas Pendidikan Teologi
Institusi pendidikan teologi merupakan institusi akademik. Kurikulum disusun agar mahasiwa dapat 
memiliki pengetahuan yang cukup untuk dipakai dalam pelayanan nantinya. Penekanan pada 
kemampuan akademik bukan hanya menjadi tuntutan sekolah namun juga tuntutan jemaat. Hal itu 
tidaklah berlebihan bila melihat perkembangan jemaat saat ini, dimana latar belakang pendidikan 
dan wawasan jemaat, terutama di perkotaan, sudah demikian maju. Hal ini membuat kebutuhan 
terhadap kualitas akademik para pelayanan juga semakin meningkat.

Walau sekolah teologi sudah meningkatkan kemampuan akademik para peserta didiknya, misalnya 
dengan menambah pelajaran/subyek yang aktual di masyarakat, keluhan terhadap para lulusan 
sekolah teologi tetap banyak. Jahja Elia Pilimon, Doktor lulusan IKIP Malang, mengatakan, 
“Pada umumnya, sekolah-sekolah teologi mendapat kritikan, antara lain, ‘tidak mempunyai arah,’ ‘pengajarnya bersaingan,’ ‘kurikulumnya tidak relevan dengan kehidupan nyata,’ ‘penyiapan 
pelayanan para lulusannya buruk.’ “[3]

Dr. Joseph Tong juga mempertanyakan kualitas pendidikan teologi dalam bentuk keprihatinan. 
Ia mencatat ada enam keprihatinan dalam pendidikan teologi:[4]
1.  Keprihatinan terhadap kualitas dasar dalam pendidikan teologi.
2.  Keprihatinan terhadap kualitas ketahanan dan keandalan produk.
3.  Keprihatinan estetika dalam pendidikan teologi (estetika yang dimaksud Tong menyangkut 
     pembangunan kepribadian, karakter, kesalehan, moralitas, dan spiritualitas).
4.  Keprihatinan atas kualitas fleksibilitas dan adaptabilitas.
5.  Keprihatinan terhadap kualitas ketahanan uji.
6.  Keprihatinan kualitas pelayanan.

Dalam arah yang sama, Dr. Pilimon memaparkan keterbatasan-keterbatasan sekolah teologia 
dalam berbagai aspek dalam proses pendidikan teologi:[5]
1.  Keterbatasan mewujudkan pendekatan dan model pendidikan teologi.
2.  Keterbatasan dalam penyeleksian calon peserta didik.
3.  Keterbatasan dalam proses pendidikan dan hasilnya.
4.  Keterbatasan upaya evaluasi.

Sementara itu dalam konteks yang berbeda, Nicholas Walterstorff mengetengahkan tiga krisis 
dalam pendidikan Kristen, khususnya yang berbasis tradisi Calvin Belanda di Amerika:[6]
1.  Dasar pendidikan.
     Ia menjelaskan, “They (Calvin tradition supporters) offer reasons for it that reflect quite 
     different understandings of our position as human beings in the universe and our standing before 
     God than those of the people who founded the movement.”

2.  Pendidik.
     Menurutnya, “…that educators, with their intellectual orientation toward books and speeches…
     gaining money and prestige and respectability…We (teachers) participate avidly in the sensate 
     luxury of contemporary society…As a result, people no longer see many differences between 
     our graduates and those of the public schools.”

3.  Proses pendidikan.
     Ia mengatakan, “An alarmingly high number of graduates say that their Christian day-school 
     was oppressive and arbitrary…What they saw was only the heavy hand of conformity…
     They did not see opened up before them an exciting future in God’s service but only the dreary 
     prospect of having to conform to the system.”

Dari enam keprihatinan, empat keterbatasan dan tiga krisis di atas terlihat kompleksitas pendidikan 
teologi. Kemampuan akademik adalah salah satu unsur utama dalam proses pembentukan seorang mahasiswa teologi. Memang dalam praktek dan pelayanan di gereja, misalnya, kemampuan 
akademik saja tidak dapat menentukan keberhasilan seorang lulusan sekolah teologi. Namun, 
tanpa kemampuan akademis yang baik pelayanan juga tidak menghasilkan buah yang baik pula. Permasalahannya adalah, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Pilimon, respon yang diberikan terhadap 
semua hal di atas seringkali bersifat reaktif.

Pilimon mengakui bahwa sulitnya menyiapkan seseorang menjadi seorang hamba Tuhan yang 
berkarakter baik dan yang juga dapat melayani dengan baik. Ia melihat ada tiga kesulitan:[7]
1.  Tidak mudah mengajar para calon rohaniwan mengenai “biblika,” sejarah gereja, teologi 
     sistematika, dan teologi praktika sampai mereka memiliki keterampilan untuk menginterpretasi-
     kannya ke dalam konteks hidup sehari-hari.

2.  Tidak mudah mengajar para calon rohaniwan memahami gereja atau jemaat, yang mencakup 
     apa masalah gereja sendiri, bagaimana mengelola dan menggembalakan jemaat dan bagaimana 
     jemaat bergereja; bagaimana konteks kehidupan jemaat sehari-hari, pribadi maupun kelompok, 
     apa masalahnya, bagaimana mereka sebagai orang Kristen menghadapi masalah-masalah 
     tersebut; bantuan apa yang mereka perlukan dari rohaniwan sebagai gembala dan 
     pemimpin-pelayan

3.  Tidak mudah mengajarkan dan menyeimbangkan secara utuh ketiga ranah kualifikasi (kognitif, 
     afektif, praksis) yang harus dimiliki seorang rohaniwan; khususnya mengajarkan ranah afektif 
     yang tidak mudah dievaluasi baik di kampus maupun di tempat magang.

Secara internal, pendidikan teologi harus terus mengevaluasi seluruh proses yang terkait dengan pembentukan para pelayan Tuhan yang siap melayani di ladang-Nya. Persiapan dan pembentukan 
yang mereka terima tidaklah serta merta dipahami dan diterima secara sama, apalagi dalam 
aplikasinya di lapangan/ladang pelayanan. Perlu melihat kecenderungan yang berkembang di luar 
pendidikan teologi yang secara tidak kentara telah memberikan dampak yang besar terhadap 
pemikiran yang berkembang di lembaga pendidikan teologi. Pembahasan selanjutnya adalah 
bagaimana pengaruh pascamodern terhadap pendidikan teologi.

Pascamodern dan Pendidikan Teologi
Di era pascamodern, aspek akademik berada dalam dimensi yang baru. Dimensi tersebut 
menempatkan otoritas akademik pada tiap orang, bukan lagi pada para ahli. Dengan tepat 
Lyotard mengatakan, “Postmodern knowledge is not simply a tool of the authorities; it refines 
our sensitivity to differences and reinforces our ability to tolerate the incommensurable. Its 
principle is not the expert’s homology, but the inventor’s paralogy.”[8] Hal tersebut, yang 
jauh sebelumnya telah diidentifikasi oleh Lyotard, menjadi kenyataan. Di kalangan Injili, 
sesuai dengan pembahasan pendidikan teologi dalam tulisan ini, telah muncul berbagai 
“kelompok” dengan menekankan “sedikit” perbedaan dengan tradisi Injili (tradisional).




Ketidakpuasan terhadap teologi/doktrin yang lama begitu kuat,[9] sehingga bermunculan 
berbagai “kelompok” di kalangan Injili dengan pemikiran-pemikiran yang lebih aktual dan 
sesuai dengan zamannya. Justin Taylor menjelaskan, yang penulis kutip secara panjang, di sini:

       What is important – and what is by and large no longer questioned – is that a significant 
       shift is taking place in some segments of evangelicalism. The proponents of this perspective 
       have assumed various labels with varying connotations – postconservatives, reformist, 
       the emerging church, younger evangelicals, postfundamentalists, postfoundationalists,    
       postpropositionalists, postevangelicals – but they are all bear a family resemblance and 
       can be grouped together as having a number common of characteristics. They are 
       self-professed evangelicals seeking to revision the theology, renew the center,
       and transform the worshipping community of evangelicalism, cognizant of the postmodern 
       global context within which we live.[10]

Pemikiran tersebut bukan hanya membawa “bahasa” yang berbeda dalam menguraikan 
doktrin Kristen, namun bahasa yang baru tersebut memiliki suatu pergeseran pemikiran yang 
besar. Karena, “A new language always reflects a new point of view, and the gradual, 
unconscious popularization of new words, or of old words used in new ways, is a sure sign of 
a profound change in people’s articulation of the world,” demikian menurut Alan Bloom.[11] 
Lebih lanjut Bloom menjelaskan bagaimana hal itu terjadi dalam kontek pendidikan. 
Menurutnya, para mahasiswa baru telah dibebani dengan pemikiran tentang “keterbukaan,” 
“toleransi,” “kesetaraan,” dan sejenisnya.

       The students’ backgrounds are…various…They are unified only in their relativism and 
       in their allegiance to equality. And the two are related in a moral intention. The relativity of 
       truth is not a theoretical insight but a moral postulate, the condition of a free society, or so 
       they see it…That it is a moral issue for students is revealed by the character of their response 
       when challenged – a combination of disbelief and indignation: “Are you an absolutist?,”…
       The danger they have been taught to fear from absolutism is not error but intolerance. 
       Relativism is necessary to openness; and this is the virtue, the only virtue, which all primary 
       education for more than fifty years has dedicated itself to inculcating.[12]

Sehingga Bloom menyimpulkan bahwa “the true believer is the real danger.” Karena cara 
berpikirnya yang begitu berbeda, maka mahasiswa diajak untuk “not to correct the mistakes 
and really be right; rather it is not to think you are right at all.”[13]

Yakub Susabda[14] bahkan telah melihat bahwa spirit pascamodern telah masuk ke pemikiran
para hamba Tuhan. Dan menurutnya ada tiga hal yang mencirikan spirit pascamodern dalam diri 
hamba Tuhan, yaitu:
1.  Playing God. Allah hanyalah simbol. Seluruh rencana dan keputusan sebenarnya dibuat 
     sendiri oleh hamba-hamba Tuhan dengan pertimbangan “kebijaksanaannya” sendiri…(Mereka) 
     tidak mempunyai modal yang cukup untuk menemukan titik integrasi antara “core belief” dengan 
     realita praktis pelayanan dan kesaksiannya.

2.  Self-fulfillment in the ministry. Hamba-hamba Tuhan era postmodern…menemukan self 
     fulfillment di dalam pelayanan-pelayanan itu sendiri.

3.  Ambivalency. Kehilangan konsistensi dalaam kehidupan, kesaksian dan pelayanannya… 
    (sehingga) pilihannya adalah pluralis, inklusif atau eksklusif.

Ketiga hal tersebut turut membentuk moralitas para hamba Tuhan. Pendidikan dan pembentukan 
yang mereka terima seringkali hanya menjadi “dekorasi” dalam pelayanan. Karena yang sebenarnya menentukan siapa hamba Tuhan itu sebenarnya adalah dirinya sendiri. “A value-creating man is 
a plausible substitute for a good man…The respectable and accessible nobility of man is to be 
found not in the quest for or discovery of the good life, but in creating one’s own “life-style,” 
of which there is not just one but many possible, none comparable to another, “ demikian 
analisa Bloom.[15]

Dasar pemikiran yang demikian, menurut George M. Marsden, “Not only does it lack spiritual 
center, but it also without any real alternative.” [16] Selanjutnya ia menjelaskan,

       …while they (prominent academics) tend to be dogmatic moralists, many also espouse 
       theories that would undermine not only traditional moral norms, but their own as well. 
       Others, probably most academics, do not even try to deal with first principles. Knowledge 
       today is oriented increasingly toward practical; at the same time, in most fields the vast 
       increases in information render our expertise more fragmentary and detached from the larger 
       issues of life.[17]

Demikianlah perkembangan pemikiran pascamodern dalam pendidikan teologi yang seharusnya 
diidentifikasi dan dibahas agar sekolah teologi benar-benar secara maksimal dapat mempersiap-
kan para mahasiswa menjadi hamba Tuhan yang siap. Pembahasan selanjutnya adalah bagaimana 
seharusnya karakter pendidikan teologi, sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan di awal 
tulisan ini, dibangun dan dikembangkan.

Karakter Pendidikan Teologi
Bagi Bloom, “Every educational system has a moral goal that it tries to attain and that informs 
its curriculum. It wants to produce a certain kind of human being.”[18] Bagaimana lulusan sekolah 
teologi nantinya berkarya di ladang pelayanan sangat ditentukan oleh bagaimana ia melihat dirinya 
setelah selesai menjalani pendidikan. Pilihan dan sikap moralnya juga dibangun dan  dibentuk di situ.

Moralitas bukanlah pilihan-pilihan yang didasarkan pada “selera” jemaat, masyarakat atau pribadi; 
bukan proyek pencitraan diri hamba Tuhan atau lembaga pendidikan teologi dan bukan suatu 
pengetahuan semata yang harus dipahami. Namun moralitas menyangkut totalitas pribadi seseorang. 
Penulis setuju dengan Nicholas Wolterstorff yang mengatakan, “The goal of Christian education is 
to imbue the child with a Christian world-and-life view.”[19]

Pemikiran dan kehidupan bukanlah obyek terpisah dalam pendidikan teologi. “The Christian gospel 
does not speak just to our theological thought. It does not speak to our ethical thought. It speaks 
to all our thought about the world and life, “[20]demikian Wolterstorff menekankan pentingnya 
melihat dan mendidik seseorang secara utuh.[21] Karena, “Christian education is for Christian 
life, not just for Christian thought. The Christian life is an alternative mode of life.”[22]

Kehidupan kristiani atau moralitas seseorang merupakan konsep yang dihidupi. Karena itu proses 
belajar harus menekankan bagaimana mengaitkan apa yang dipelajari tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, penting memilih dan menyeleksi materi-materi yang tepat bagi mahasiswa 
sehingga tetap relevan dan aktual, agar mahasiswa tidak diindoktrinasi dengan permasalahan-
permasalahan yang tidak pernah akan mereka hadapi, atau dengan kata lain, menurut Wolterstorff, dipropaganda.[23]


———————-
Kepustakaan:
1.     H. A. R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan 
        Studi Kultural (Jakarta: Kompas, 2005), 144
2.     Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report Knowledge, terjemahan Geoff
        Bennington dan Brian Massumi, cet. 7 (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1989), 15
3.     Jahja Elia Pilimon, “Track Record Sekolah Teologi: Anugerah Karya Allah mulai dari Keterbatasan
        Mendidik Calon Rohaniwan sampai Penerimaan Lulusannya oleh Gereja dan Lembaga Kristen,”  
        Veritas 3/2 2002, 200 (Ia adalah dosen PAK di SAAT ketika menulis artikel ini)
4.     Joseph Tong “Pentingnya Kualitas dalam Pendidikan Teologi” Jurnal Teologi Stulos 2/2 2003. 68-74
5.     Jahja Elia Pilimon, “Track Record Sekolah Teologi…,” 208-214
6.     Nicholas P. Walterstorff, Educating for Life: Reflections on Christian Teaching and Learning
        diedit Gloria Stronks dan Clarence W. Joldersma (Grand Rapids: Baker Academic, 2002), 148-150.
7.     Pilimon, “Track Record Sekolah Teologi…”
8.     Lyotard, The Postmodern Condition. xxv
9.     Lihat pembahasan yang luas terhadap “postconservative evangelism” di Millard J. Erickson, Paul
        Kjoss Helseth dan Justin Taylor, ed., Reclaiming the Center: Confronting Evangelical  
        Accommodation in Postmodern Times (Wheaton, Ill.: Crossway Books, 2004)
10.   Ibid. 17-18. Dalam buku tersebut khusus membahas pemikiran Stanley Grenz, Brian McLaren, Roger
        Olson dan Robert Weber yang dikelompokkan sebagai kelompok postconservative oleh para penulis
        buku tersebut.
11.   Alan Bloom, The Closing of the American Mind (New York: Simon and Schuster, 1987), 141
12.   Ibid. 25-26 (Italik oleh penulis)
13.   Ibid. 26. Selain itu, menurut Bloom, “The students, of course, cannot defend their opinion. It is
        something with which they have been indoctrinated.” Ibid.
14.   Yakub Susabda, “Hamba Tuhan di Era Post-Mo” dalam God’s Fiery Challenger for Our Time, ed.
        Benyamin F. Intan (Jakarta: Reformed Center for Religion and Society, 2007), 399-402
15.   Bloom, The Closing of the American Mind. 144
16.   George M. Marsden, The Outrageous Idea of Christian Scholarship (New York: Oxford University
        Press, 1997), 3
17.   Ibid.
18.   Bloom, The Closing of the American Mind.  26
19.   Nicholas P. Walterstorff, Educating for Life: Reflections on Christian Teaching and Learning ed.
        Gloria Stronks dan Clarence W. Joldersma (Grand Rapids:Baker Academic, 2002), 175. Italik oleh
        penulis.
20.   Ibid.
21.   Lih.Wahyu Pramudya, “Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire: Antara Banking Concept of 
        Education, Problem Posing Method, dan Pendidikan Kristen di Indonesia, Veritas 2/ 2 2001, 253
22.   Walterstorff, Educating for Life. 177
23.   Ibid. 160

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Identitas Diri Orang Percaya Dalam Dunia Digital

MARI BELAJAR 2

The Best Intelectual (5)