MENGASIHI SESAMAKU MANUSIA


Satu kalimat menarik dari T. W. Manson yang mengatakan,
“While mere neighbourhood does not create love, love does create neighbourliness.”
Kalau secara bebas diterjemahkan demikian, kasihlah yang menciptakan relasi dengan sesama, bukan relasi itu sendiri.
 
Kisah orang Samaria di Lukas 10:25-37 adalah contoh tepat tentang kasih yang benar terhadap sesama. Kisah itu bukan hanya menyangkut tentang menolong orang yang kesusahan, namun pada dasarnya menjelaskan perspektif  Tuhan Yesus sendiri tentang pelayananNya di dunia ini, yaitu pelayanan kasih yang menyelamatkan.
 
Di pasal-pasal sebelumnya Lukas memperlihatkan pelayanan Tuhan Yesus: menyembuhkan orang sakit kusta (5:12-13), menyembuhkan pada hari Sabat (6:10), menyembuhkan hamba perwira di Kapernaum (7:10), mengusir roh jahat dari orang Gerasa (8:29), menyembuhkan anak perempuan Yairus (8:54) dan perempuan yang sakit pendarahan (8:48) serta menerima pelayanan perempuan berdosa (7:37-38) yang disaksikan oleh orang Farisi, ahli Taurat atau tua-tua Yahudi.
 
Orang sakit, hamba, perempuan, orang kerasukan roh jahat dan orang berdosa merupakan kaum yang sering diabaikan dalam pelayanan pada masa itu. Dan kalaupun mereka diyalani maka pelayanan harus  dilakukan secara khusus. Selain itu, pelayanan terhadap mereka ini menghadapi berbagai hambatan. Mereka harus menghadapi hambatan sosial, kedudukan, status atau kondisi mereka dan bahkan hambatan karena peraturan agama (6:9).
 
Dalam konteks ini pertanyaan ahli Taurat di 10:29 menjadi penting, “Dan siapakah sesamaku manusia?” Dengan kalimat lain ia bertanya, “Bagaimana orang kusta, hamba, orang kafir, perempuan berdosa dapat menjadi sesamaku manusia?” Secara tidak langsung ia mengatakan bahwa ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang itu bisa menjadi “sesamaku manusia”.
 
Ternyata kapasitasnya sebagai ahli dalam masalah agama, seorang yang mempelajari kitab suci dan memiliki otoritas dalam mengajarkannya “belum” dapat melihat siapakah sesamanya manusia (neighbour).
 
Dan hal yang lebih menarik adalah jawabannya terhadap pertanyaan Tuhan Yesus tentang isi hukum Taurat. Ia menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (10:27). Dan jawabannya dibenarkan oleh Tuhan Yesus.
 
Bila diperhatikan dalam pelayanan Tuhan Yesus bagi mereka yang terabaikan tersebut beberapa kali tercatat keluhan dan amarah orang Farisi atau ahli Taurat (5:21, 6:11, 7:39). Mereka memiliki dasar yang kuat untuk tindakan mereka tersebut, yaitu Kitab Suci (Taurat). Taurat sudah menjadi bagian hidup orang Israel yang diajarkan turun menurun sesuai perintah Allah sendiri (Ul. 6:4-7). Lalu dimana letak permasalahannya?
 
Ada dua kali Tuhan Yesus dicatat memberi perintah kepada ahli Taurat itu “Perbuatlah demikian” (28, 37). Penekanan ini menunjukkan bahwa ada yang tidak diperbuat oleh ahli Taurat tersebut, dan hal itu adalah hal yang penting. Allah memerintahkan agar hal itu diajarkan turun menurun kepada keturunan mereka dan ditegaskan ulang oleh Tuhan Yesus sendiri. Yesus sebenarnya telah menyatakan bagaimana Allah melayani “orang asing” (4:25-27), bahkan Ia juga mengajarkan untuk mengasihi musuh (6:27). 

Namun mereka tidak mau “menghargai nabi” mereka sendiri (4:24). Bagaimana mereka dapat melihat sesama mereka bila nabi, sebagai utusan Allah yang menyampaikan firmanNya, tidak dihargai? Bagaimana mereka dapat menjalankan kasih terhadap sesama bila firman Allah dibatasi oleh kekerasan hati mereka? (Walaupun ahli Taurat itu sudah ditegur malalui kisah orang Samaria, ia tetap tidak mau mengucapkan “orang Samaria,” ia hanya mengatakan “orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya”) [10:3]).
 
Kekerasan hati atau tegar tengkuk membuat ahli Taurat, orang Farisi dan tua-tua Yahudi mencari pembenaran-pembenaran atas sikap mereka, bahkan dengan memakai pembenaran-pembenaran rohani. Misalnya, najis untuk menyentuh orang mati apalagi bagi imam dan orang Lewi. Demikianlah pembelokan firman Allah terjadi. Dan pembelokan itu menyebabkan ahli Taurat tersebut tidak dapat mengasihi sesamanya karena ia tidak mau menerima orang lain yang tidak sesuai dengan hatinya. Walau pengertian dan pengetahuannya tentang firman Tuhan benar, ia tetap tidak dapat melakukan perintah Tuhan itu.
 
Jadi, kasih kepada Allah itu tidak dapat meniadakan kasih kepada sesama, dan sebaliknya, kasih kepada sesama tidak boleh mengabaikan kasih kepada Allah. Kasih kepada Allah sama pentingnya dengan kasih kepada sesama. Dan keduanya merupakan inti dari seluruh kitab suci (Taurat) (Mat. 22:35-40; Mrk. 12:28-34). Kasih kepada sesama hanya dapat dihayati dan dilakukan bila kasih kepada Allah terjadi. Kasih Yesus yang menyelamatkan manusia yang pantas diabaikan, karena segala dosanya, memperlihatkan kasih-Nya kepada Bapa-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Identitas Diri Orang Percaya Dalam Dunia Digital

MARI BELAJAR 2

The Best Intelectual (5)