The Best Intellectuals (2)


"Theology today is challenged to rethink the meaning of salvation along relational and communitarian lines" 


Sedari jauh sudah terlihat kerumunan orang di sekitar guru itu. Orang yang mengerumuninya dari beragam latar belakang, ragam motivasi dan ragam kepentingan. Namun semua fokus mendengar pengajaran guru tersebut.

Guru itu beda dengan guru pada umumnya. Ketika guru lain mengajar berdasarkan rumusan-rumusan, ia mengajar berdasarkan konteks keseharian; ketika guru lain memberi beban tugas (bahkan beban yang berlebihan dianggap bernilai tinggi), ia memberikan beban sesuai kemampuan; ketika guru lain menghukum dengan tegas dan keras, ia menegur dengan kasih; ketika guru lain memberi nilai berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan, ia menilai berdasarkan penguasaan hidup; ketika guru lain dibayar, ia mengajar secara gratis; ketika guru lain mengajar di kelas, ia mengajar di jalan-jalan. Tidak salah bila ia disebut juga guru jalanan.

Guru jalanan suatu status yang menggambarkan kadarnya. Kurang pas memberi nilai tinggi untuk kadar ilmunya, kadar kompetensinya, kadar metodenya, kadar materinya dan bahkan kadar latarbelakang hidupnya. Bila gurunya saja dilihat secara demikian, kira-kira bagaimana dengan gambaran para muridnya?

Namun guru ini beda! Mereka yang datang mengerumuninya bukan hanya orang kebanyakan, seperti petani, pedagang kaki lima, tukang becak atau tukang ojek, namun juga aparat keamanan, pejabat pemerintah, para tokoh masyarakat dan bahkan para guru profesional. Mereka semua fokus mendengar pengajaran guru tersebut. Koq bisa?

Siapa guru tersebut? Apa yang diajarkannya? Mengapa ia mengajar di jalan-jalan? Bila para pendengarnya sebagian adalah orang penting di masyarakat tentu guru ini bukan sembarangan, dan apa yang diajarkannya pasti penting dan berbeda dari pengajaran-pegajaran yang sudah ada. Selain itu, bila ia bisa membuat orang dengan beragam latarbelakang datang mendengar pengajarannya tersebut, tentu kita (setidaknya saya) berpikir materi pengajaranya pasti bersifat populer dan mengikuti tren saja. Namun pengajarannya menjadi perbincangan bukan hanya di tengah masyarakat kelas bawah, namun juga di masyarakat kelas atas dan para cendikiawan. Dan materi yang demikian itu, yang membuat orang berkerumun, fokus dan menjadi bahan perbincangan, diberikan secara gratis di jalan.

Namun pertanyaan, mengapa harus di jalan? belum terjawab. Bila guru itu mengajarkan sesuatu yang penting dan bernilai, mengapa ia menyampaikannya di jalan? Apa yang menjadi daya tarik jalan? Apa yang dibutuhkan orang-orang di jalan sehingga guru itu memilih mengajar di jalan? Bagaimana dengan kurikulum, evaluasi belajar, penilaian hasil belajar dapat dibuat? Murid yang bagaimana hendak dicetak oleh guru jalanan ini?

Pada refleksi lain kita akan coba mengurai pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun bagian refleksi ini saya tutup dengan kalimat dari Daniel L. Migliore:

...theology today is challenged to rethink the meaning of salvation along relational and communitarian lines...As mere theory and empty rhetoric come under fire because of their impotence in the face of the urgent crisis of our time...theology must understand itself not as abstract speculation but as reflection that arises out of and is directed to praxis of Christian faith, hope, and love. (Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding, 2nd ed. [Grand Rapids: Eerdmans, 2004], xv-xvi)

Refleksi yang keluar dari pengetahuan yang baik akan terlihat dalam tindakan yang meyakinkan dalam menghadapi dan menjawab persoalan-persoalan di "jalan." Masalah "jalan" bukanlah persoalan sepele. Contoh, Foke banyak dikritik karena masalah "jalan" yang sering macet di Jakarta. Ical berupaya keras menutup "jalan" JK menjadi capres dari partainya. Masyarakat Porong memblokir "jalan" dalam rangka meminta perhatian pemerintah. Banyak pihak dengan berbagai cara memutuskan "jalan" ke sumber (pemberi) uang hasil korupsi. Walau rekening gendut sudah teridentifikasi, dibuatlah "jalan" alternatif agar rekening gendut tidak diselidiki. Dan ketika jalan utama sudah macet (terutama di Jakarta), maka biker (pengendara motor) membuat "jalan" sendiri.

Impotensi, kata dipakai Migliore, adalah kata yang, pas. Karena menunjuk bukan kepada ketiadaan hasrat, ketiadaan motivasi atau ketiadaan "fasilitas," namun kepada ketiadaan daya, tenaga dan energi. Pengetahuan yang baik akan menampakkan dayanya, ketangguhannya, kualitasnya, kelengkapannya dan kegunaannya di "jalan." 





Guru itu mengajar di jalan, untuk orang di jalan dan orang jalanan, dengan cara yang diterima di jalan, dan mampu memberi dinamika hidup di jalan bahkan sampai ke luar dari jalan, menembus tembok kaum birokrat dan elit, namun bukan dengan materi kelas jalanan dan cara-cara orang jalanan. Hidupnya juga tidak sama dengan orang di jalan atau orang jalanan, walau ia hidup dan mengajar di jalan. 

(Tulisan lama yang diposting di fkai grup: Apr 18, 2012)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Identitas Diri Orang Percaya Dalam Dunia Digital

MARI BELAJAR 2

The Best Intelectual (5)